Bertahan Karena Percaya

“ Biarkan sinarnya tetap menjadi yang paling terang di rasiku, Auriga.”

                Senja menjelma menjadi gelap. Rona mega di ufuk barat perlahan menghilang, langit seolah berpaling pada sang dewi malam yang mulai mengintip di kaki langit timur.  Bintang-bintang perlahan menampakkan diri laksana lukisan indah penuh pesona dari tangan Sang Maha Sempurna.
                Malam menyapa, waktu yang tepat bagiku untuk kembali menari dalam imajinasi-imajinasi penuh fantasi di benakku. Bergulat dengan jutaan kenangan yang tak ayal sering mengundang air mata, rangkaian kisah tentang aku, kau dan mereka.
                Kau, lelaki yang pernah menjadi bagian kisah di hidupku beberapa tahun yang lalu. Kau, ya kau lelaki yang pernah membuat hariku seolah lebih berwarna. Ah, mengapa harus kau lagi yang membuatku kembali mencinta? Tidak, aku tidak menyesali rasa ini. Aku bahkan bersyukur pada Sang Maha Cinta yang telah menghadirkan rasa ini, hanya saja aku terlalu takut kembali terjatuh pada luka monoton yang sama.
                Aku tak akan menceritakan tentang siapa mereka di sini. Karena bagiku ini hanya kisah tentang kau dan aku. Tentang sebuah kepercayaan yang mampu membuatku bertahan.
***
                “Aku masih berharap bisa kembali bersamamu,” ucapmu tiba-tiba. Ungkapan yang seolah mampu membuatku kembali terjebak dalam dilema. Bagaimana tidak? Kemarin kau baru saja bercerita tentang kau dan dia, tentang kau yang tak mampu lupakan dirinya. Ah Tuhan, aku takut kembali terjerat dalam rasa yang salah seperti waktu lalu. Namun, perihnya luka seolah tak menegurku hari itu dan aku kembali terjatuh dalam cinta yang sama pada hatimu.
                Hari berganti hari, status kita telah berganti menjadi sepasang kekasih. Namun sepertinya aku lebih mencintai engkau yang sekarang daripada engkau yang lalu. Aku tak lagi ragu menyerahkan sebagian besar kepercayaanku untuk dirimu, cintamu dan hatimu yang aku bahkan tak mampu merabanya. Aku mencintaimu walau aku tak sanggup membaca seperti apa posisiku dalam hatimu. Aku menyayangimu walau aku tak mampu menyentuh sebesar apa rasamu untukku. Ah, entahlah biar waktu yang menjawabnya.
                Kami sudah melewati dua puluh dua hari bersama, walau selama itu aku hanya mampu melihatmu sekali dan hanya sekejap. Aku sengaja mengajak salah seorang teman untuk menemani ku melihat kau bermain basket di sekolahmu sore itu. Menurutku kau tak banyak berubah, kau masih tetap sama seperti dirimu yang dulu aku kenal. Wajahmu, postur tubuhmu bahkan suaramu. Ya, sesuatu yang sudah sekian lama tak lagi ku temui setelah upacara kelulusan Sekolah Menengah Pertama, dua tahun lalu.
Senja itu awan sedikit membandel, rona mega tak mampu tunjukkan pesonanya pada langit malam yang tak lama lagi menyapa. Entah apa yang terjadi, hari itu angin kekhawatiran dan kekalutan seolah membelai kalbuku, aku terlalu takut pada hati dan cintamu saat itu. Ada yang aneh dalam dadaku, bisikan-bisikan horor tentang arti keseriusanmu menyergapku tanpa ampun.
                “Apa kau benar-benar serius padaku?” tanyaku. Entah mengapa tiba-tiba aku ingin menanyakannya padamu. Aku tak pernah menyangka bahwa pertanyaan itu mampu menimbulkan pertengkaran hebat antara kita. Kau menganggap bahwa aku tak bisa mempercayaimu, kau menilai bahwa diriku lebih percaya pada apa yang mereka katakan dibanding padamu.
                Ah entahlah, aku tak tahu apa yang harus kulakukan, rasanya aku seperti terjebak di ujung jalan yang gelap. Tak tahu lagi bagaimana aku harus bertindak ketika kisah kita sudah di ujung tanduk. Aku hanya bisa meyakinkan dirimu bahwa aku percaya padamu, aku hanya takut kau masih terjerat dalam ilusi masa lalumu.
                “Aku bukan tak mempercayaimu, aku hanya takut kau masih di sana. Terjebak dalam kisah masa lalumu dengan dirinya,” ungkapku.
                “Jika kau tak mampu lagi mempercayaiku. Lebih baik tak ada hubungan ini,” jawabmu dalam pesan singkat yang kau kirimkan ke ponselku.
Aku tak lagi mampu mengartikan rasaku, saat kau tak bisa percaya pada semua ungkapanku, sedangkan aku di sini berusaha mempertahankan kisah yang telah tercipta antara kita. Ah Tuhan, mungkin sudah saatnya aku melepaskan dirimu yang sempat menemaniku walau hanya sekejap mata.
                “Kita akan tetap menjadi kita, maaf untuk keegoisanku. Sudahkah aku terlambat untuk meminta maaf?” tanyamu saat aku mulai menyerah meyakinkan dirimu bahwa aku mencintaimu.
                Ya, kita akan tetap menjadi kita. Hanya itu yang terlintas dalam benakku saat ini. Aku hanya bisa berharap bahwa kita akan tetap menjadi kita yang kemarin hingga kita sama-sama lelah dan menyerah nantinya.
                                                                                ***
                Kita tetap menjadi kita yang kemarin setelah kejadian penuh emosi hari itu. Aku mencoba membangun kembali kepercayaanku padamu yang hampir runtuh beberapa saat lalu. Aku selalu berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa kau benar-benar sudah terlepas dari jerat masa lalumu, walau tak jarang aku harus tersiksa ketika melihat pesan singkatmu dengan dirinya yang memang sengaja dia bagikan di sosial media. Sakit? Iya, namun aku bertahan dan selalu meyakinkan diriku bahwa kau masih tetap di sana untukku.
                Hari berganti hari, setiap pagi aku selalu berusaha meyakinkan diri bahwa dirimu masih di sana dan memelukku dari kejauhan. Setiap detik aku selalu mempertahankan rasa percaya ini, percaya bahwa dirimu tak lagi terlibat dalam dunia-dunia masa lalumu termasuk dunia tentang dia. Mungkin aku egois, tetapi aku hanya tak ingin kembali merasakan kecewa yang sama.
                Senja kembali menyapa. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tiba-tiba saja kau mengatakan padaku bahwa kau belum bisa terlepas dari bayang-bayang tentang dia, bahwa hingga saat ini kau masih belum mampu melupakan sosok dirinya. Aku tak tahu apa, namun sepertinya aku sudah mati rasa. Aku sudah terlanjur percaya padamu, percaya pada semua ucapanmu bahwa kau memang benar-benar sudah menghapus dirinya dari hidupmu.
                “Aku hanya belum mampu melupakan dirinya. Namun aku tetap mencintai dan menyayangimu,” ucapmu melalui pesan singkat yang kau kirimkan padaku.
                “Ya aku sudah tahu tentang itu.” balasku.
‘Aku bahkan sudah mengetahuinya lebih dulu sebelum kau mengatakan itu padaku. Aku hanya tak ingin menanyakannya karena aku tak ingin kita kembali bertengkar seperti hari itu,’ ucapku dalam hati.
                “Aku mengerti, karena melupakan dia yang pernah singgah tak semudah membalikkan telapak tangan,” lanjutku kemudian.
Perih? Iya, namun apa lagi yang bisa ku perbuat selain sabar, mengerti dan percaya. Aku sabar karena aku menyayangimu, aku mengerti karena aku mencintaimu dan aku percaya karena itu satu-satunya alasan yang mampu membuatku bertahan untuk menyayangimu hingga saat ini.
Aku hanya bisa berharap, bermimpi dan berfantasi ria dalam jutaan bayangan dan imaji indah di benakku tentang kita, aku dan dirimu. Aku mengingat beberapa hari lalu kita berjanji bahwa kita tak akan saling mengecewakan. Namun entah mengapa sepertinya aku tak begitu setuju dengan ungkapan itu, aku hanya ingin kita berjanji bahwa kita akan tetap bersama meskipun dikecewakan. Ya hanya itu, susah? Memang, namun dari situlah kita bisa mencoba untuk bertahan dan menjadi lebih kuat. Karena aku tahu, cinta bukan hanya sekedar ungkapan “Aku sayang kamu” ataupun “Aku cinta kamu”, namun tentang bagaimana kita tetap menjaga kepercayaan dan setiap rasa yang telah tercipta, walau jarak tak lagi berpihak. Aku tak ingin hanya aku atau kau saja yang berjuang, aku ingin kita. Ya kitalah yang berjuang.

Biarlah kita tetap seperti ini, menjadi kita yang kemarin, bersama dalam air mata dan ribuan canda. Tetaplah seperti itu, menjadi satu yang paling terang di rasiku, hingga waktu memudarkan segalanya. Aku mencintaimu seperti Auriga yang akan tetap bersama Capella.

Comments