Sumbawa, kota kecil itu. Begitu banyak kisah terukir pada
langit pulau seberang. Rumput-rumput hijau beradu ketika angin berhembus tenang.
Lolongan anjing malam seakan membuat suasana malam mencekam.
Pulau itu, ah bukan kota kecil itu. Masih nampak nyata
bagaimana aku tertawa di sana. bermain bersama mereka di rumah-rumah panggung
sederhana. Haha, aku bahkan mengingat seekor kuda penarik cidomo yang mengamuk
di pasar kala itu.
Kota kecil penyimpan kenangan. Aku merindukan birunya
laut di pantai itu. saat pertama kali aku mengecap bagaimana asinnya air laut. Memandang
jauh ke pulau seberang bersama ayah, menikmati alunan nada semesta yang
memabukkan.
Aku bahkan mengingat bagaimana perjuangan ayah dan ibu di
tengah terik mentari yang tak berpihak. Berpanas-panasan demi mengantarku ke
Pelabuhan Tano dengan sepeda motor yang masih sangat sederhana. Ah Tuhan, aku
merindukan hari itu.
Sumbawa, kota penyimpan
cerita. Terlalu banyak kisah terukir di tanah Sumbawa. Tentang perjuangan, tawa
serta air mata. Hawa panasnya, lolongan anjing malam, debu-debu yang
beterbangan, pantainya, lautnya. Ah, aku merindukan semua itu.
Aku merindukan teman-teman masa kecilku, saat kami
bermain bersama di Perumahan SD. Ingatkah kalian ketika kita makan bersama
hanya dengan nasi dan air? Aneh memang, namun itulah yang membuat semuanya
berbeda, mungkin lebih tepatnya indah.
Lima tahun di pulau seberang, bukan waktu yang singkat
untukku. Saat kami memutuskan meninggalkan pulau itu untuk pulang ke tanah
Jawa, aku selalu berharap, suatu saat nanti aku bisa menginjakkan kembali
kakiku di tanah Sumbawa, menikmati birunya langit yang memukau dan mengulang
kisah yang pernah tercipta bersama mereka yang telah membuat semuanya menjadi
indah.
Comments
Post a Comment