Aku
terdiam. Menikmati setiap goresan perih yang dihasilkan dari sembilu pilu. Apa
kau melihatnya? Percikan-percikan darah tak kasat mata yang menetes dari lubuk
hatiku yang paling dalam. Apa kau mencoba untuk sedikit mengerti dan memahami
sakit ini? Tentu tidak. Kau tak pernah berpikir sedikit pun akan rasaku,
perihku dan sakitku. Terima kasih, untuk pengabaiannya.
Entah, aku tak mengerti apa yang ku rasa. Aku terlalu
bodoh, bahkan untuk mengartikan bagaimana diriku saat ini. Aku seperti berada
pada sebuah lorong gelap dengan dua percabangan, entah ke mana aku harus
melangkah. Satu sisi aku ingin melepaskan. Melepas semua rasa sakit dan sesak
dalam dada yang selama ini menghantui. Meninggalkan setiap coretan kisah dan
kenangan yang pernah kita tulis berdua jauh di belakang. Membuang rasa cinta
yang pernah membuatku terlena dalam asmara sehingga lupa jika luka sanggup
menerkamku setiap saat. Di satu sisi yang lain, aku tak sanggup melepaskan, aku
tak mampu merelakan dan aku tak bisa meninggalkan. Hati ini seperti telah
terikat pada hatimu, terpaku pada satu sosok yang selama ini menemani setiap
saatku. Membuatku lupa untuk sejenak akan air mata dan luka. Apa kau mengerti
akan perjuanganku untuk mempertahankan mu selama ini? Apa kau tahu, sudah
berapa banyak air mata yang aku teteskan karena mu? Apa kau sanggup
menggambarkan, bagaimana bentuk hatiku ketika aku harus menahan kecewa
berkali-kali dan hanya sanggup mengatakan “Sudah lupakan” kepadamu? Apa kau
pernah berpikir, untuk apa aku seperti itu? Apa kau mengerti, apa kau tahu akan
hal itu? Tidak kan! Aku lebih memilih memendam dan menelan semua rasa sakit,
kecewa dan luka ini hanya untuk mempertahankan “kita”. Iya, mempertahankan mu
yang bahkan tak pernah mengerti bagaimana perihnya jadi diriku!
Jika takdir memang memaksaku untuk melepaskan, aku akan
melepaskan. Membuang setiap rasa yang pernah tercipta pada sisi abu-abu dalam
diriku yang tak akan pernah sekalipun aku singgahi lagi. Mengubur dalam-dalam
setiap guratan cerita yang pernah kita lalui berdua dalam kuburan hati yang tak
akan pernah aku ziarahi lagi. Jika memang harus melepaskan, aku akan merelakan.
Tuhan tak akan membiarkanku terlarut dalam luka yang sama untuk ke sekian
kalinya.
Jika nanti saat semua memang harus berakhir, ketika “kita”
telah mati dan hanya hidup dalam imajinasi fiktif. Aku ingin terbangun dengan
diriku yang lain, kembali dengan hati dan rasa yang benar-benar baru, tanpa
luka dan air mata yang menyiksa. Dan tolong katakan, jika hari-hari bersamamu
di saat lalu, hanyalah sebuah mimpi panjang yang tak pernah terjadi dalam kisah
nyataku. Mimpi buruk tentang luka, kecewa dan air mata yang selama ini belum
pernah aku rasakan. Tentang sebuah goresan perih yang sebenarnya hanya ilusi
dalam mimpi. Iya, aku ingin. Menemukan kembali diriku yang dulu, dengan senyum,
tawa dan ceria tanpa luka, kecewa dan air mata.
Comments
Post a Comment