Kamu. Hari ini aku kembali merindumu. Dalam kegelisahan
yang kian menggebu, bayangmu tak jua lepas dari pelupuk mata yang semakin berat
menahan butiran hangat itu. Aku mencoba menepis, selalu menampik getaran
kerinduan yang menyelubungi ketika malam kian membeku. Bukan aku tak ingin
merindumu, aku hanya tak ingin terlalu menghiraukan rindu ini yang nantinya
akan membuat keyakinan dan cintaku untukmu semakin dan semakin melemah. Aku tak
ingin getaran rasa ini perlahan hilang karena serbuan rindu dan bentangan jarak
yang tak jua memihak.
Aku tak tahu dan aku tak mengerti, apa yang harus aku
lakukan ketika rindu itu datang menyerbuku sedang jarak belum lagi mengizinkan
kita untuk saling memandang dalam nyata. Aku hanya mampu memeluk erat
fatamorgana bayangmu dan meyakinkan diriku bahwa suatu saat nanti, kita akan
bertemu. Pasti. Selalu dan selalu itu yang aku ucap pada diri sendiri. Ya, bila
tiba saatnya nanti kita akan berada di sana. Berdua di sebuah tempat yang
sangat indah pada suatu hari tanpa nama. Aku selalu menanti hari itu tiba. Karena
aku percaya, Tuhan telah menyusun rencana yang indah untuk pertemuan kita suatu
hari nanti. Aku yakin!
Aku menulis ini di tepi pantai, saat senja mulai menyapa
dunia. Aku yakin, senja juga mulai menyapa di sebarang sana, di tempat kau berada.
Lihatlah ke sana, ke arah rona mega yang kian meninggi di batas cakrawala.
Indah bukan? Aku ingin menjadi semburat mega itu yang setia mengiringi langkah
mentari senja menutup mata indahnya sejenak. Jika takdir mengizinkan, aku ingin
selalu menemani di sisimu hingga nanti saat aku menutup mata selamanya.
Ingatlah senja itu ketika kau merindukanku. Aku akan berada di sana, menjelma
menjadi rona mega di ufuk barat yang akan selalu mengindahkan senjamu,
memelukmu ketika bekunya malam bersiap menyelubungi dunia. Yakinlah suatu saat
kita pasti bertemu dalam nyata, karena aku pun merindukanmu. Karena rindumu,
juga rinduku.
Comments
Post a Comment