Hujan di Peron Stasiun

          

Rintik hujan membasahi jendela kaca kereta api yang aku tumpangi. Menciptakan titik-titik air yang terasa menenangkan hati. Mataku menerawang ke luar jendela. Mengamati tetesan air yang jatuh begitu deras dari langit di luar sana.

Hujan selalu berhasil mengingatkanku pada seseorang. Seorang laki-laki yang telah mengisi hatiku sejak dua tahun yang lalu. Laki-laki pemilik senyum menenangkan yang selalu berhasil mencuri hatiku, lagi dan lagi. Ah kamu. Aku tak pernah berhenti tersenyum setiap kali mengingatmu.

Kereta terus melaju membelah hujan yang masih turun dengan deras. Aku melihat jarum pada jam tanganku. Tiga puluh menit lagi. Sebentar lagi, setumpuk rindu yang mengepungku selama ini akan kembali menemukan peraduannya. Menemukan sandaran pada hangatnya pelukanmu.
###
Dua tahun yang lalu:

Gerimis mulai turun membasahi jalanan kota yang kering. Membersihkan debu-debu yang berterbangan menyesakkan pernapasan. Aku mempercepat langkahku menuju emperan toko untuk berteduh sebelum hujan semakin deras. Sambil setengah berlari, berkali-kali aku mengutuk kebodohanku yang lupa membawa payung hari ini.

Hujan mulai turun dengan deras. Hawa dingin menyusup ke dalam tulang belulang. Aku menangkupkan kedua telapak tanganku kemudian saling menggesekkannya. Berharap menemukan sedikit kehangatan di tengah hawa beku yang mengepungku. Seragam putih abu-abuku sudah cukup basah terkena cipratan air hujan yang jatuh melalui atap pertokoan.

Sebuah Avanza berwarna hitam berhenti tepat di depanku. Pengemudi di dalam mobil menurunkan kaca jendelanya, sehingga aku bisa melihat ke dalam mobil tersebut. Itu Andra, salah satu teman satu kelasku. Andra melemparkan senyumnya sambil menawarkanku tumpangan untuk pulang. Aku mengangguk, meski sedikit canggung.

Hari-hari berlalu. Hubunganku dengan Andra yang awalnya hanya sebatas teman sekelas, kini menjadi semakin akrab. Banyak waktu yang kuhabiskan bersamanya, menikmati malam dengan obrolan panjang melalui sambungan telepon. Diam-diam aku menyukai kedekatan ini. Ada rasa nyaman yang kutemui setiap kali bersamanya.

“Aku menyukaimu,” Andra mengucapkan dua patah kata yang seolah membuatku lumpuh sejenak.

Dua buah kata yang mampu membuat dadaku berdesir, menimbulkan rasa hangat yang menjalar dalam darahku. Bahkan mungkin, saat ini pipiku pun tengah memerah. Ah kamu. Bisakah kau sekali saja tidak membuat jantungku berdetak lebih cepat? Aku takut kau bisa mendengar debar di dada ini. Hari itu juga hubunganku dengannya berubah menjadi sepasang kekasih.

Enam bulan berlalu setelah kami menjadi sepasang kekasih. Selama itu pula tidak sedikit masalah yang datang menerpa. Namun aku tahu, dia akan tetap di sana, memelukku dengan erat.

“Besok aku harus pergi ke Yogyakarta untuk melanjutkan kuliahku,” ucapku ketika kami tengah bersama menikmati senja di tepi pantai.

Hari ini adalah hari terakhir kami bersama sebelum aku pergi meninggalkan kota ini dan segenap kenangan yang pernah terjadi. Aku bisa melihat gurat kesedihan di wajahnya, meski sekuat hati dia coba menutupinya.

“Tapi, pastikan kau akan kembali lagi ke sini,” ucapnya setelah keheningan yang menyelimuti kami beberapa detik yang lalu.

Aku mengangguk, kemudian sebuah senyum tergores di bibirnya. Kau tahu Andra, senyummu seperti heroin yang membuatku melayang. Menarikku ke dalam rasa bahagia yang tak mampu tergambarkan.
###

Setiba di stasiun tujuan, aku segera melangkah menuju pintu keluar. Aku tahu, di sana dia pasti telah menantiku dengan senyum itu. Senyum menyenangkan yang hanya dimiliki oleh dia seorang.

Aku melihatnya yang tengah berdiri tepat di samping pintu keluar. Tanpa menunggu aba-aba aku segera berlari menghampiri laki-laki itu, melepaskan kerinduan yang telah membuncah dalam dada. Andra menarikku dalam pelukannya sambil mengusap pelan puncak kepalaku.

“Aku merindukanmu,” ucap laki-laki itu tepat di telingaku. Membuat dadaku kembali berdesir dan pipiku memanas.

Laki-laki itu tidak pernah lupa untuk menyampaikan kata rindu setiap kali dia menjemputku di stasiun ini. Dia juga tidak pernah lupa untuk mengatakan “cepat kembali” setiap kali dia mengantarkanku ke stasiun untuk kembali ke kota seberang.

Andra mengajakku berkeliling menikmati udara malam di kota penuh kenangan ini. Di sinilah aku pertama kali bertemu dengannya, menjadi sahabatnya, hingga menjalin kisah bersamanya. Masih banyak waktu yang ingin aku habiskan dengannya, hari ini, nanti, dan hari-hari yang akan datang kemudian.

“Selamat ulang tahun, Alina. Aku mencintaimu. Semoga aku cepat menjadikanmu sebagai pendamping hidupku,” suara Andra terdengar dari seberang sana melalui sambungan telepon. Laki-laki itu meneleponku tengah malam, tepat setelah jam besar di ruang tengah selesai berdentang.
###
Sinar matahari menerobos masuk melalui celah ventilasi di atas jendela kamarku. Aku mengucek mata, kemudian segera beranjak dari tempat tidurku. Hari ini, Andra berencana akan mengajakku pergi ke suatu tempat sebagai perayaan hari ulang tahunku. Tanpa menunggu lama, aku segera berlari untuk mempersiapkan diri.

Tiga puluh menit berlalu, aku sudah siap menanti Andra di ruang tamu. Lima belas menit yang lalu, laki-laki itu telah mengirimiki pesan singkat yang mengatakan bahwa dia akan segera berangkat ke sini.

Lima puluh menit berlalu. Andra belum juga menampakkan diri di depan rumah. Aku mulai mendesah gelisah. Andra tidak pernah membiarkanku menunggu selama ini. Lagipula jarak rumahku dengan rumahnya bisa ditempuh hanya dalam waktu dua puluh menit.

Aku mengirimkan sebuah pesan singkat pada Andra. Namun, tidak ada sebuah pesan singkat balasan yang tiba di ponselku. Andra, kemana kau sebenarnya? Pikiranku mulai tidak tenang. Sudah hampir satu jam berlalu, namun tidak ada tanda-tanda Andra akan tiba di sini. Beberapa kali aku menengok jam dinding. Namun bukannya meredakan kekalutanku, hal tersebut justru membuatku semakin gelisah.

Satu jam lebih sepuluh menit, ponselku berdering. Sebuah panggilan masuk dengan nama Andra yang terpampang di layar. Dengan cepat aku segera mengangkat panggilan telepon tersebut. Namun, bukan suara Andra yang aku dengar setelah aku menanyakan tentang keberadaan dia.

Suara laki-laki di seberang sana membuyarkan rasa kesal yang melingkupiku semenjak satu jam yang lalu. Mataku memanas, sebutir air mata berhasil mendarat dengan anggun di pipiku, dan diikuti butir-butir yang lain.

Aku melajukan mobil menuju rumah sakit. Dadaku berdebar tidak beraturan. Pikiran-pikiran buruk tentang Andra bergelayut dalam kepalaku. Sekeras apapun aku menepisnya, pikiran tersebut akan kembali hadir. Menimbulkan kegelisahan serta ketakutan yang tidak mampu kulukiskan.

Aku berhenti di depan pintu kamar yang bertuliskan IGD. Dari pintu ini aku bisa melihat laki-laki itu tengah terbaring tidak berdaya dengan selang oksigen dan infuse yang terpasang di tubuhnya. Aku tidak bisa mencegah air mataku untuk tidak merembes keluar dari kedua bola mataku. Aku tidak pernah ingin melihat laki-laki itu terbaring di sana.

Dokter keluar dari ruang IGD dengan raut wajah yang sulit untuk diterka. Aku beranjak dari tempat dudukku, segera menanyakan perihal kondisi Andra. Dokter itu menggeleng. Dadaku kembali berdetak tidak beraturan. Aku sudah tahu apa yang akan dokter itu katakan. Mataku berkunang-kunang, seluruh tubuhku seperti mati rasa.

Aku membuka mata dan menemukan tubuhku yang terbaring di atas ranjang sebuah kamar rawat rumah sakit. Mama segera menghampiriku sambil melemparkan sebuah senyum. Mata wanita itu memerah, terlihat sekali bekas air mata di sana.

“Ma, Andra mana?” tanyaku lemah.

Mama menggeleng, “Andra sudah pergi, Alina. Kamu harus bisa ikhlaskan dia. Biarkan dia tenang di alam sana,”

Beberapa kalimat yang disampaikan mama membuat dadaku kembali bergejolak. Sekuat apapun aku bertahan, berita itu tetap saja menyeretku dalam pusara tak berdasar. Air mataku menetes. Aku menangis. Kini, tanpa ada lagi sosok Andra yang akan menghapus air mata ini. Tiada lagi senyum menyenangkannya yang selalu mampu menghiburku.

“Andra bermaksud memberikan ini padamu sebelum dia pergi,” Mama memberikan sebuah boneka teddy bear berukuran sedang dengan setangkai mawar putih yang terselip pada pita di lehernya.

Aku menerima boneka tersebut dengan perasaan campur aduk. Ini adalah terakhir kalinya aku mendapatkan hadiah ulang tahun darimu. Hadiah ulang tahun yang indah sekaligus menyakitkan.
###

Hujan kembali turun ketika aku hendak menaiki kereta api yang akan membawaku kembali ke kota seberang. Awan hitam bergulung-gulung di langit, menumpahkan segala beban yang ditanggungnya.

Hari ini aku pergi, melepaskan semua sesak yang melingkupi hidupku sejak kepergian Andra hari itu. Mencoba mengikhlaskan semua yang telah terjadi, menerima kenyataan bahwa tidak akan ada lagi senyumnya yang selalu menyambutku di pintu keluar stasiun.

Dia pergi, membawa sejuta kisah yang pernah tercipta. Dia pergi, membawa ribuan kata rindu yang belum sempat ku sampaikan. Darinya, aku mengenal perihal rindu-rindu yang menggebu di malam kelabu. Tentang sebuah rasa yang tak dapat dinalar logika.

Hujan turun dengan deras, menciptakan titik-titik air di kaca jendela kereta api. Sebuah peluit panjang terdengar dari luar sana, memberikan tanda bahwa kereta sudah siap berangkat. Aku tersenyum kecil, mengamati peron stasiun yang sudah sepi.

Suara peluit panjang di stasiun hari ini menyadarkanku, bahwa Andra tidak akan pernah hadir kembali sekadar untuk membisikkan kata rindu di telingaku. Tidak akan ada lagi senyum manis dan ucapan “cepat kembali” yang dia sampaikan ketika melepasku pergi ke kota seberang.
             

Comments