Sahabat
selalu memiliki cara tersendiri untuk menenangkan hati. Melalui gurauan serta
celetukannya, selalu mampu menghibur hati yang tengah gelisah. Sahabat
selalu setia menemani, bahkan ketika seluruh dunia mencoba menjauhi.
Malam
belum begitu larut, namun suara jangkrik sudah terdengar ramai bersahut-sahutan. Aku menikmati malam di bawah naungan bintang-gemintang
bersama satu sahabatku. Namanya Aldo. Remaja laki-laki berperawakan tinggi
kurus yang tinggal tidak jauh dari rumahku.
Kami
selalu menghabiskan waktu bersama setiap malam minggu. Duduk di atas kursi
bambu sederhana yang ada di teras rumahku. Tidak seperti remaja lainnya yang
memilih menghabiskan malam minggu untuk berjalan-jalan di luar dengan
teman-teman mereka. Kami lebih memilih menikmati malam bersama, ditemani alunan
suara jangkrik dan semilir angin malam, sambil bermain gitar tua milik ayahku.
Ini terasa lebih mengasyikan daripada harus menghambur-hamburkan uang untuk
berkeliling tanpa tujuan.
Kita
saling bercerita banyak hal, khususnya tentang kegiatan sekolah. Maklum saja,
aku dan Aldo berada di SMA yang berbeda. Sehingga, hanya malam minggulah waktu
kami untuk bisa berkumpul dan bertukar cerita.
###
Aku
duduk di tepi sungai sambil menunggu umpan pancinganku di tarik oleh ikan.
Sejak pagi aku berada di sini, namun hanya tiga ekor ikan yang berhasil aku
tangkap. Ikan ini adalah pesanan dari bang Riyan. Laki-laki yang tinggal dua
rumah dari rumahku tersebut memintaku untuk menangkap lima ikan. Hari ini,
saudaranya dari kota akan datang. Dia harus menyiapkan sambutan yang sedikit
mewah untuk mereka.
“Din, aku mencari kamu dari tadi. Eh,
ternyata malah ada di sini,” ucap Aldo dengan napas terengah-engah seperti
habis berlari.
Aku
menoleh pada Aldo yang sudah duduk di sampingku. Keringat mengalir dari
keningnya. Bahunya masih naik turun.
“Ada
apa?” tanyaku.
“Tidak
ada apa-apa. Aku hanya sedang bosan berada di rumah. Kau tidak pulang? Sudah
tiga ikan yang kau tangkap hari ini,” ucap Aldo sambil melihat ke dalam
emberku.
“Bang
Riyan memintaku membawa lima ekor ikan. Tapi sejak tadi hanya tiga ikan yang
berhasil aku tangkap. Lelah aku harus berurusan dengan nyamuk-nyamuk yang
berterbangan di sini,” ucapku dengan nada sedikit kesal sambil menepuk seekor
nyamuk yang hinggap di lenganku.
Aldo
menemaniku memancing sambil bercerita tentang seorang perempuan dari desa
seberang yang disukainya. Matanya berbinar setiap kali dia menyebut nama
Ningsih, seorang gadis yang berhasil merebut hatinya. Pantas saja, sejak
beberapa hari yang lalu sikap Aldo pada Ningsih sedikit berbeda. Beberapa kali
aku melihat pipinya memerah dan senyum malu-malu tersungging di bibirnya
setiap kali aku menyebut nama Ningsih.
Ningsih
adalah sahabat kami sejak kecil. Awalnya Ningsih tinggal satu desa denganku dan
Aldo. Rumah kami juga berjarak tidak jauh. Hampir setiap sore, kami
menghabiskan waktu untuk bermain di lapangan bersama. Namun, Ningsih dan orang
tuanya pindah ke desa seberang setelah neneknya meninggal. Meski begitu,
Ningsih masih sering menemui kami dua minggu sekali.
“Hati-hati
jatuh cinta sama sahabat sendiri, Do. Biasanya kalau nanti ditolak atau
cintanya selesai di tengah jalan, hubungan persahabatannya juga ikut rusak,”
ucapku sambil menepuk pundak Aldo.
Raut wajah Aldo yang terlihat sedikit
kecewa, membuatku tersenyum kecil. Sebenarnya aku juga ikut bahagia, jika rasa
suka Aldo pada Ningsih akhirnya bersambut. Sebagai sahabat, aku hanya bisa
mendukungnya sembari membantu meyakinkan Ningsih perihal perasaan Aldo.
Aku berhasil menangkap enam ikan. Lima
ikan pesanan bang Riyan sudah aku berikan padanya. Sedangkan satu ikan besar
yang berada di dalam emberku, rencananya akan aku bakar bersama Aldo. Sudah
lama kami tidak makan ikan bakar.
###
“Hai
Din, hai Do!” sapa Ningsih ketika aku dan Aldo tengah duduk di tepi lapangan
sambil memerhatikan segerombolan anak-anak yang tengah bermain bola.
Aku
dan Aldo menoleh bersamaan ke arah Ningsih. Wajah Aldo yang awalnya biasa, kini
berubah kikuk. Aku berusaha menyembunyikan tawa, meski nyatanya tidak berhasil.
Kami bertiga terlibat dalam percakapan seru. Beberapa kali aku melihat Aldo
yang tengah mencuri pandang ke arah Ningsih.
Aku
beranjak dari tempatku, beralasan ingin membeli minuman. Aku hanya ingin
memberikan ruang bagi mereka, memberikan kesempatan pada Aldo untuk meyakinkan
perasaannya pada Ningsih.
Aku
duduk sendiri di teras rumah. Mataku menangkap sosok Aldo yang tengah berlari
menghampiriku. Wajahnya terlihat sumringah dengan senyum lebar yang tergores di
bibirnya. Aku melemparkan tatapan heran pada laki-laki itu yang kini sudah
duduk di sebelahku.
“Ningsih
menerimaku,” ucap Aldo dengan mata berbinar dan senyum lebar.
Aku
ikut tersenyum bahagia melihat Aldo yang sudah menemukan cintanya. Ini pertama
kalinya Aldo menjalin hubungan dengan seorang perempuan. Semoga saja, ini bukan
sekadar cinta masa remaja yang mudah untuk pupus di tengah jalan.
Aldo
bercerita tentang apa yang terjadi setelah aku berpamitan pergi tadi sore.
Perihal sikap Ningsih yang terlihat kebingungan, sampai senyum malu-malu yang
tergores di bibir perempuan itu ketika menerima pernyataan cinta Aldo.
Berkali-kali aku tertawa ketika membayangkan betapa lucunya mereka berdua
beberapa waktu yang lalu.
###
Malam
ini terasa lebih dingin dari sebelumnya. Awan bergelayut di langit, menghalangi
cahaya bulan dan bintang menerangi bumi. Semilir angin dan suara jangkrik masih
setia menemani. Jalanan di depan rumah masih sepi seperti biasanya.
Aku
duduk di atas kursi bambu di teras rumah. Biasanya malam minggu seperti ini,
Aldo berada di sini untuk menemaniku. Bermain gitar dan bernyanyi bersama,
meramaikan suasana malam minggu yang selalu terkesan sepi seperti hari-hari
biasa. Namun hari ini, hingga pukul delapan laki-laki itu belum juga
menampakkan diri di sini.
Mataku
menyipit. Seseorang berjalan menghampiriku dari arah jalan di depan rumah.
Perawakan yang sangat aku kenal. Itu Aldo. Aku tidak melepaskan pandanganku
dari laki-laki itu hingga dia duduk di sebelahku.
Aldo
terlihat pucat hari ini. Matanya sayu dan tubuhnya terlihat tidak sebugar
biasanya. Dia juga tampak lebih pendiam. Biasanya dia akan memanggil namaku
ketika masih berada di jalanan depan rumahku, kemudian sedikit berlari
menghampiriku.
Pikiranku
langsung tertuju pada Ningsih. Adakah sesuatu yang terjadi antara mereka
berdua, sehingga Aldo menjadi tidak bersemangat seperti ini?
“Kamu
sakit, Do?” tanyaku sambil menyentuh dahi Aldo.
Laki-laki
itu tetap diam, tidak ada suara yang keluar dari bibirnya. Aku tergoda untuk
menanyakan hubungannya dengan Ningsih, namun hanya gelengan yang aku dapatkan.
Gelengan yang mengisyaratkan bahwa hubungan mereka masih baik-baik saja.
“Din.
Aku tetap sahabatmu kan?” tanya Aldo tiba-tiba.
Aku
kembali menyipitkan mata, mencerna kalimat yang baru saja disampaikan Aldo. Aku
penasaran, apa yang terjadi padanya hari ini? Apakah laki-laki ini terkena
amnesia mendadak, sehingga lupa bahwa aku adalah sahabatnya?
“Tentu
saja kau tetap sahabatku. Ada apa? Kau bisa bercerita padaku jika kau mau,”
ucapku dengan nada tenang seperti biasa, meski dalam hati terus saja
bertanya-tanya.
“Aku
titip Ningsih ya, Din. Aku nggak bisa menjaga dia seterusnya. Kamu masih tetap
sahabatku sampai kapanpun. Aku ingin meminta maaf jika ada salah yang pernah
kuperbuat,” ucapan Aldo semakin membuatku bingung.
“Terima
kasih untuk waktu yang kita habiskan bersama sejak kita masih anak-anak. Terima
kasih karena kamu telah bersedia menjadi sahabatku. Kenangan-kenangan itu tidak
akan pernah aku lupakan. Aku bahagia bisa menjadi sahabatmu. Bermain bersama,
bernyanyi bersama ketika malam minggu, berenang di sungai, dan masih banyak
lagi kenangan kita yang tidak akan aku lupakan,” ucap Aldo.
Aku
menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Kebingunganku semakin meningkat ketika
mendengar ucapan Aldo beberapa saat yang lalu. Berkali-kali aku bertanya “ada
apa”, namun hanya gelengan yang aku dapatkan.
Aldo
berpamitan untuk pulang dua menit setelah menyelesaikan kalimatnya.
Meninggalkanku bersama kebingungan yang menyisakan tanda tanya besar dalam
kepalaku. Aku menyaksikan punggung Aldo yang semakin menjauh dan menghilang di
tikungan jalan.
###
Suara
ketokan pintu depan membangunkanku dari mimpi. Suara Ningsih yang memanggilku
dari luar dengan tidak sabaran memaksaku untuk bangkit dari tempat tidur. Aku
keluar dari kamar menuju pintu depan. Aku melihat ibu dan Ningsih di ruang tamu
dengan raut wajah murung dan air mata yang menggenang di kelopak mata mereka.
“Ada
apa bu, Ningsih?” tanyaku penuh tanda tanya.
“Aldo,
Din,” suara Ningsih bergetar menahan tangis.
“Aldo
kenapa?” aku bertanya semakin tidak sabaran.
“Aldo
meninggal semalam. Dia menjadi korban tabrak lari di perempatan jalan kemarin sore. Jenazahnya akan dibawa pulang dari rumah sakit sebentar lagi,” suara Ningsih tersengal-sengal. Air mata kembali mengalir di
pipinya.
Aku
terperanjat, mencoba mencerna semua kejadian membingungkan yang menghampiriku
sejak semalam. Aldo? Bukankah semalam dia baru saja menemuiku di depan rumah. Tiba-tiba
aku menyadari satu hal setelah beberapa detik mencerna semuanya. Semalam,
bukanlah sosok nyata Aldo yang menghampiriku. Aldo bermaksud mengucapkan
selamat tinggal padaku sebelum dia benar-benar pergi.
Aku mengantarkan kepergian Aldo menuju
peristirahatan terakhirnya. Sahabat masa kecilku yang selalu sedia berbagi tawa
dan ceria. Pergilah bersama embus angin yang menggugurkan dedaunan kering. Kau
akan tetap di hati, apapun yag terjadi.
Comments
Post a Comment