(Pict by google)
Menunggu
memang tidak pernah menyenangkan. Sejak satu jam yang lalu, aku duduk di kedai
kopi ini seorang diri, ditemani kopi robusta di hadapanku. Aroma kopi menyeruak
menggoda hidungku, wangi dan menyenangkan. Seolah menyeretku kembali pada kisah
lama tentang pertemuanku denganmu hari itu.
Aku
melihat jarum jam pada arlojiku. Sudah hampir satu jam aku berada di sini. Ini
adalah kopi kedua yang aku pesan, dan sekarang sudah hampir dingin. Namun, kamu
tidak kunjung datang. Aku mendesah pelan. Mencoba mengumpulkan kesabaran
kembali yang mulai hilang perlahan-lahan.
Kemarin
kau mengajakku untuk bertemu di tempat ini. Sudah hampir dua bulan kami tidak
bertemu lantaran kesibukan masing-masing yang tidak dapat ditinggalkan. Kau
sibuk mengajar di salah satu Sekolah Dasar yang berada di kota berbeda
denganku. Sedangkan, aku tengah sibuk dengan bisnisku sendiri.
Aku
meraih ponselku, mencoba mengirimkan pesan singkat yang kesekian padamu.
Sepuluh menit berlalu, namun belum ada tanda-tanda kau membalas pesan singkat
dariku. Aku kembali memanggil seorang
pelayan. Memesan cangkir kopi ketiga untuk menemaniku menanti hadirmu yang
belum juga menampakkan diri hingga saat ini. Mataku memandang berkeliling,
memandangi para pengunjung kafe yang kebanyakan adalah pasangan muda-mudi yang
tengah bercerita tentang cinta masa muda mereka.
Pikiranku
melayang pada pertemuan kita dulu di tempat ini. Saat itu kau tengah bertengkar
dengan kekasihmu yang berakhir pada kandasnya hubunganmu dan dia. Kau yang saat
itu tengah menangis, tidak sengaja menabrakku yang baru saja tiba di kafe ini.
Sejak hari itu, aku sering melihatmu yang tengah sendirian menikmati secangkir
capucino panas di tempat ini.
Aku
memberanikan diri untuk menghampirimu. Kita berkenalan dan banyak bertukar
cerita. Selepas hari itu, hubungan kita semakin dekat. Kita sering bertemu di
tempat ini sekadar untuk berbagi canda. Diam-diam aku mulai menyukaimu. Aku
tahu, kau pun menyimpan rasa yang sama.
Sekarang,
hubungan kita sudah berjalan hampir tiga tahun. Baru kali ini aku menjalani
hubungan yang cukup lama. Beberapa kali aku menyampaikan rencanaku untuk
melamarmu. Namun, hanya jawaban “belum siap” yang selalu aku dapat dari
bibirmu. Bahkan sejak beberapa minggu yang lalu, aku merasa kau seakan
menjauhiku.
Aku
mencoba bertanya padamu perihal perubahan sikapmu. Tetapi, tidak ada jawaban
meyakinkan yang aku dapatkan darimu. Kau membuatku terjebak dalam tanda tanyaku
sendiri, membiarkanku menerka-nerka tentang apa yang terjadi. Ah, perempuan
memang rumit.
“Tunggu. Aku akan tiba sepuluh menit lagi,”
sebuah pesan singkat darimu mendarat di ponselku.
Aku
mengembuskan napas panjang. Baiklah, hanya sepuluh menit. Aku hanya perlu
menunggu sepuluh menit lagi. Kemudian, semua tanda tanya akan sikapmu beberapa
minggu ini padaku akan terjawab. Aku memasukkan kembali ponselku ke dalam saku
setelah membalas pesan singkat darimu.
Sepuluh
menit kemudian, seorang perempuan berambut panjang mengenakan kemeja putih dan
celana jeans hitam terlihat memasuki kafe. Itu kamu. Kau menoleh ke seluruh
penjuru kafe. Aku melambaikan tangan memberi tanda padamu tentang keberadaanku.
Kau berjalan dengan langkah lebar menghampiri mejaku.
Seorang
pelayan wanita menghampiri kami. Kau memesan secangkir cappucino panas
kesukaanmu. Sesekali pelayan wanita tersebut melemparkan pandangan padaku
sembari mencatat pesananmu. Aku mengangguk, sambil melemparkan sebuah senyum
simpul pada pelayan tersebut.
“Jadi,
apa yang mau kau bicarakan?” tanyaku langsung menuju pada pokok permasalahan.
Aku
tidak terlalu suka basa-basi. Sekalipun kita adalah sepasang kekasih. Bisa
dibilang, aku maupun kamu sangat jarang saling mengucapkan kata rindu.
Membiarkan semua perasaan rindu itu berlalu begitu saja, tanpa saling
melemparkan ucapan rindu yang terkesan memuakkan. Apalagi perubahan sikapmu
belakangan ini, membuatku canggung untuk mengucapkan kata rindu saat ini.
“Bagaimana
jika kita berakhir hari ini?” tanyamu, namun lebih seperti pernyataan dengan penekanan.
Aku
menaikkan sebelah alisku, melemparkan tatapan heran sekaligus bingung dengan
ucapanmu. Sudut bibirmu sedikit tertarik, melemparkan sebuah senyum sinis yang
membuat hatiku semakin bertanya-tanya.
“Tidakkah
kau sadar, Ger. Hubungan kita semakin lama terasa semakin aneh. Kita sibuk
dengan urusan masing-masing, hingga terkadang lupa bahwa kita masih sepasang
kekasih,” ucapmu pelan.
Aku
bisa melihat kedua bola matamu yang menyiratkan kejengkelan dan sedikit rasa
bosan di sana. Aku tahu, mungkin saja kau tengah bosan dengan hubungan kita.
Hingga kau memilih untuk mengakhiri segala rasa. Ah Alya, bukankah dulu kau
pernah bilang bahwa bosan bukanlah alasan untuk saling berpisah? Lantas,
mengapa sekarang kau memilih mengakhiri hubungan ini hanya karena alasan bosan
dan lelah? Aku sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran wanita.
“Jadi,
apa yang kau inginkan sekarang?” ucapku, kemudian menarik napas panjang. “Kau
ingin kita mengakhiri semuanya?” lanjutku.
Aku
menatap dalam matamu. Mengunci kedua bola mata berwarna hitam tersebut, mencari
sebuah
keseriusan di sana. Atau jangan-jangan, kau hanya main-main untuk
mengetahui sejauh mana aku serius pada hubungan ini.
Kau
mengangguk, setelah beberapa detik berlalu. Aku mengembuskan napas berat. Mungkin,
kita memang tidak lagi bisa mempertahankan hubungan ini. Bukan sekadar bosan,
namun rasa lelah menjalani hubungan jarak jauh juga ikut berperan.
“Baiklah,
jika itu maumu. Aku tidak akan menahanmu lagi. Bukankah selama ini aku tidak
pernah bisa memaksamu? Nyatanya, keseriusanku selama ini tidak pernah berarti
di matamu,” ucapku berat, teringat semua keseriusanku yang selalu kau anggap
main-main. Bahkan kau selalu memiliki alasan untuk menolak ajakanku menikah.
“Terima
kasih sudah bisa memahamiku. Terima kasih untuk tiga tahun ini,” ucapmu sambil
tersenyum lebar.
“Semoga
kau menemukan bahagiamu yang nyatanya bukan denganku,” ucapku tulus.
Kau
mengangguk, kemudian melangkah pergi meninggalkanku setelah mengucapkan sampai
jumpa. Tatapanku mengikuti langkahmu hingga keluar dari kafe dan berdiri di
sebelah mobil Inova berwarna silver bersama seorang pria.
Aku
menyipitkan mata, memfokuskan pandangan pada sosokmu yang tengah berdiri dengan
seseorang di luar sana. Aku bisa melihatmu yang tertawa bahagia, sedangkan
laki-laki itu mengusap lembut puncak kepalamu dengan lembut. Aku kembali
mengembuskan napas berat, menyadari satu hal yang sejak tadi aku lewatkan. Laki-laki
itulah yang membuatmu akhirnya menyelesaikan “kita”. Aku tahu, Alysa, meski kau
tidak mengatakannya secara langsung.
Aku
mengalihkan pandangan pada seorang pelayan perempuan yang tadi sempat mencatat
pesananmu. Aku melemparkan senyum padanya, memberikan isyarat agar dia mendekat
ke arahku.
“Ada
apa?” ucap perempuan itu setelah duduk di hadapanku.
“Mungkin
sekarang adalah waktu yang tepat. Maukah kau menikah denganku? Sesuai
permintaan orang tuaku dan orang tuamu?” ucapku padanya sambil mengeluarkan
sebuah kotak cincin yang dilapisi kain beludru berwarna merah.
Perempuan
itu tersenyum, kemudian mengangguk. Dalam matanya masih menyiratkan rasa tidak
percaya. Aku sudah menjalin hubungan dengannya sejak enam bulan yang lalu. Dia
adalah perempuan yang dipilihkan kedua orang tuaku, dan aku mencintainya.
“Aku
mencintaimu. Terima kasih sudah mencintaiku pula selama ini,” perempuan itu
tersenyum dengan mata sedikit berkaca-kaca, menyiratkan rasa bahagia yang
membuncah dalam hatinya.
Meski
tidak denganmu, mungkin akan kutemukan bahagia bersamanya. Selamat
berbahagia bersama laki-laki pilihanmu, Alya. Aku akan memulai hidup baru
bersama wanita yang juga aku cintai sejak enam bulan lalu. Kau tak perlu
risau, kenangan kita akan memudar sering berlalunya waktu.
Comments
Post a Comment