Semu


“Maafkan bintang ketika cahaya itu hilang, hingga ia jatuh sebagai sebuah meteor”- Rhara

     “Aku tidak akan membiarkanmu terjatuh. Karena, di setiap tawa dan tangismu akan selalu aku temani.” Kalimat manis itu terucap dari bibir seorang lelaki yang duduk di sebelahku. 
     Aku menoleh ke arahnya. Mata kami bertemu. Lantas, aku tersenyum kecil. 
    Laki-laki itu bernama Arga. Seseorang yang selalu aku banggakan di dalam hati. Seseorang yang sudah berhasil menempati sudut hatiku sejak beberapa bulan yang lalu. Meski tidak pernah ada deklarasi cinta antara kita. Bisa dibilang, kita terjebak dalam sebuah rasa yang tidak tahu kemana akan berujung. Terjebak dalam sebuah rasa tanpa nama.
      Hari ini matahari sedang bersinar dengan malu-malu. Mendung bergelayut manja di langit, sambil sesekali menimbulkan suara bergemuruh. Sepertinya, sebentar lagi hujan akan segera turun. Namun, kamu masih enggan pergi. Kamu masih duduk dengan tenang di atas bangku kayu, di teras rumah kost-ku. 
        "Kamu nggak pulang? Sebentar lagi akan hujan," ucapku. 
         Kamu menggeleng pelan, lantas tersenyum kecil. "Aku masih ingin di sini, sebentar."
       Tanpa aku duga, tanganmu bergerak untuk mengunci jemariku dengan lembut. Ada kehangatan yang menjalar dalam darahku. Menghadirkan sensasi seperti kupu-kupu berterbangan dalam dadaku. Darahku berdesir. Aku selalu menyukai setiap sentuhan-sentuhan kecilmu di tanganku, serta rangkuman erat tanganmu di pundakku.
      "Jangan pergi. Ada hati yang sedang kau genggam utuh,” ucapku dalam hati, seraya melirik sekilas ke arahnya.
       Aku selalu menikmati kebersamaan kita. Aku menikmati setiap detik yang kita lalui bersama. Meski sebenarnya, ada ketakutan yang diam-diam selalu mengendap dalam hatiku. Ketakutan untuk berharap padamu yang tidak pernah pasti untukku. 
      "Aku nggak akan kemana-mana. Kamu nggak perlu khawatir." Selalu itu yang kamu ucapkan, setiap kali aku merasa ragu. Kamu menunjukkan perlakuan-perlakuan yang selalu berhasil membuatku yakin, bahwa kamu memang ingin menjalin hubungan serius denganku. Entahlah, itu sekadar ilusiku atau memang seperti itu.
   Banyak hal yang kita lalui berdua. Aku terlanjur menyandarkan hatiku padamu. Aku menggantungkan harapan besar padamu, meski aku tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya. Kita berbagi canda tawa berdua. Menghabiskan banyak waktu bersama, hanya untuk melakukan hal-hal konyol. Kita bercerita tentang cinta dengan cara berbeda. Dengan cara kita sendiri.
***
       Hubungan ini berjalan dengan semestinya, selama enam bulan. Tidak ada perdebatan berarti yang membuat kita merenggang. Pelan-pelan, keraguanku padamu luntur. Aku telah menyerahkan nyaris seluruh kepercayaanku padamu, tanpa pernah berpikir apa yang terjadi jika kamu tiba-tiba pergi. Aku bahkan mengabaikan saran teman-temanku, yang menyuruhku untuk menanyakan tentang status hubungan kita kala itu. 
     Musim hujan masih enggan pergi. Hari itu kita kembali menikmati kebersamaan di teras kosku sembari mengamati mendung tebal bergelayut di langit. Mendung itu terlihat sangat berat, dan siap untuk menumpahkan semua beban yang ditanggungnya. Hanya dalam hitungan menit, hujan deras turun tanpa aba-aba disertai embusan angin yang cukup kencang. 
      Tampias hujan jatuh mengenai kami. Membuatku harus merapatkan tubuh ke tembok agar tidak terlalu basah. Tanpa aku duga, kamu beringsut dan berpindah posisi di hadapanku. 
      "Kamu mau ngapain? Nanti kamu basah." Aku menarik lengannya agar tetap berada di posisi semula.
     “Diamlah di situ," ucapmu. Kamu duduk di hadapanku, dengan punggung tegak. Menghalangiku dari tampias hujan yang semakin deras. Pandangan kami beradu. Meski wajahmu tampak datar, tetapi aku bisa melihat senyum di mata gelap milikmu. Pandangan mata itu yang membuatku jatuh cinta padamu.
            Diam-diam aku bersyukur bisa mengenalmu, dan mengukir cerita bersama. Untuk pertama kalinya, aku merasa begitu mencintai seseorang. Meski tak ada sebuah pernyataan untuk sebuah hubungan resmi dari bibirmu, aku tetap merelakan diri terjatuh padamu. Aku mencintaimu, sangat.
            “Maaf, karena aku kamu jadi kehujanan,” ucapku dengan raut wajah merasa bersalah. Hujan sudah reda, dan meninggalkan genangan-genangan di sisi jalanan.
            “Bukan masalah. Setidaknya, kamu nggak kehujanan. Bukankah aku pernah bilang bahwa aku akan selalu jadi sayap pelindungmu?” ucapmu dengan satu alis terangkat, dan senyum kecil di bibirmu. "Kalau begitu, aku pulang dulu." 
         "Hati-hati." Aku melambaikan tangan. Pandanganku tertuju pada punggungmu, hingga menghilang di tikungan jalan.
           Untuk pertama kali, aku bertemu laki-laki sepertimu. Laki-laki yang rela melakukan apapun untukku, setelah ayahku. Laki-laki yang berhasil mencuri hatiku dengan sikap-sikap manisnya.
***
            Tidak seperti biasanya. Hari ini matahari bersinar cukup terik. Dan tiba-tiba saja, aku ingin pergi ke pantai. Tanpa menunggu waktu lama, aku segera menghubungimu. Mengajakmu dengan sedikit memaksa untuk menemaniku ke pantai. 
            "Kamu sedang sakit. Aku nggak mau kamu tambah sakit nantinya," ucapmu.
          "Aku akan baik-baik saja. Aku janji. Jadi, temani aku ke pantai ya?" 
        Helaan napas panjang terdengar dari seberang sana. Sebelum akhirnya, aku mendengarmu menyetujui permintaanku, meski dengan sedikit terpaksa. 
         “Mungkin jika sudah pergi, sakitmu akan segera sembuh,” ucapmu, selanjutnya. 
          Hari itu aku merasa bahagia. Selama nyaris dua setengah tahun aku hidup di tanah rantau, ini adalah pertama kalinya aku menikmati matahari terbenam di tepi pantai. Bersamamu, suasana syahdu yang aku bayangkan ketika menikmati matahari terbenam, tidak pernah terjadi. Tingkah konyolmu membuatku tertawa lepas hari itu. Sikapmu yang menyebalkan, berhasil membuatku beberapa kali merajuk.
          "Jangan pernah bosan untuk jalan bersamaku." Setelah satu jam kamu bersikap menyebalkan, detik itu tiba-tiba kamu mengatakan sesuatu dengan sangat serius.
          Aku menaikkan sebelah alis. Sedikit curiga dengan sikapmu yang tiba-tiba berubah. Namun, setelah beberapa detik berlalu, kamu tidak menunjukkan tanda-tanda hendak tertawa. Saat itulah, aku akhirnya mengakui satu hal. "Aku tidak akan bosan pada laki-laki sepertimu.”
       Aku tidak main-main. Itu memang benar adanya. Bagaimana aku bisa bosan pada laki-laki yang selama ini selalu menjadi alasan di balik bahagiaku? Bagaimana aku bisa bosan pada laki-laki yang selalu bisa membuatku merasa menjadi perempuan paling bahagia ketika bersamanya?
          “Aku ingin menghabiskan banyak waktu bersamamu,” ucapmu lembut. Aku hanya tersenyum. Kamu selalu mampu membuatku tenggelam dalam tatap mata serta ucapan lembut itu.
***
            Satu setengah tahun kita bersama. Banyak hal yang kita habiskan berdua. Tidak hanya tentang tawa, tetapi juga perihal luka dan kecewa. Malam itu—tanpa pernah aku duga—kita bertengkar hebat karena sebuah pesan singkat dari seorang perempuan yang pernah menjadi masa lalumu. Sebenarnya, sudah berkali-kali aku mengetahui bahwa kamu sering berkomunikasi dengannya. Hanya saja, aku tidak memiliki keberanian untuk mengungkitnya setiap kali bersamamu. Aku hanya tidak ingin kamu menjauh, dan menghancurkan semua rasa yang selama ini telah aku bangun.
            Aku pikir dengan mengungkapkan semua pikiran-pikiranku tentang perempuan itu akan membuat hubungan kita menjadi terbuka. Namun, aku salah. Kita justru terlibat dalam sebuah pertengkaran, dan kamu lebih memilih membela perempuan itu. Aku terluka, tetapi tidak ada yang bisa aku lakukan.
            Pertengkaran itu hanya berlangsung kurang dari dua jam. Karena setelah itu, kamu kembali bersikap seperti biasa. Menyebalkan. Kamu bersikap seolah tidak pernah terjadi pertengkaran di antara kita. Namun, aku selalu terjebak dalam ketakutan-ketakutanku sendiri. Ketakutan jika nanti kamu menghilang tanpa sebuah alasan pasti. Atau, menghilang karena perempuan itu.
***
            Aku pikir, itu adalah pertengkaran pertama dan terakhir kita. Namun, ternyata aku salah. Setelah pertengkaran itu, hubungan kita tidak lagi berjalan mulus. Beberapa kali kita terlibat pertengkaran dengan alasan yang sama. Aku pernah merasa lelah. Namun, semua seolah menghilang ketika aku tahu kamu akan tetap di sini untuk membantuku berdiri. Aku tenang, karena kamu bilang, kamu akan tetap di sini untuk menemaniku. Aku tenang karena janji-janjimu dulu yang selalu menguatkanku.
            Jam merajut hari. Satu setengah tahun sudah kita bersama. Sore itu, aku sengaja membuka flashdisk milikmu--yang dititipkan oleh temanmu padaku. Entahlah, seperti ada dorongan dalam diriku untuk melihat isinya. Awalnya semua baik-baik saja. Namun, hal tersebut berubah ketika aku melihat fotomu yang tengah berdiri berdua bersama salah satu sahabatmu. Kamu dan dia berfoto dalam jarak yang begitu dekat.
            Aku mengirimimu pesan singkat terkait foto tersebut. Namun nyatanya, aku harus mengetahui sesuatu yang selama ini tidak pernah ingin aku ketahui. Entah, kamu mengatakan itu hanya karena emosi sesaat. Atau, memang benar adanya. Aku mencoba memancingmu berkali-kali, seraya berharap bahwa pernyataanmu tidak benar. Namun, setelah beberapa kali aku berusaha, pernyataan darimu tidak pernah berubah. Kamu hanya menganggapku sebagai teman. Kamu menganggap hubungan kita tidak lebih dari hubungan antar teman yang sangat dekat. Ya, hanya teman.
            Ada luka yang tidak telihat. Ada sakit yang tidak dapat dijelaskan. Satu setengah tahun lebih kita berada dalam hubungan ini, dan kamu hanya menganggapnya sebagai sebuah ikatan pertemanan. Lantas, apa artinya semua perlakuan manismu selama ini? Apa artinya sebuah rencana masa depanmu yang kamu ceritakan padaku selama ini, tentu saja dengan diriku di dalam rencana itu? Akankah itu sekadar bujuk rayumu? Apakah itu hanya ungkapan manis semu yang kamu semai, lantas pilu yang harus kutuai?
            “Aku tidak ingin kamu salah menganggap kedekatan kita. Aku hanya menganggapmu teman yang berbeda. Sebagai seseorang yang sangat dekat denganku. Namun, tidak ada ikatan resmi antara kita, pacaran misalnya,” ucapmu hari itu. Kamu tidak sedikitpun merasa bersalah, meski dengan jelas telah menghancurkanku.
            Tidakkah kamu sadar jika ungkapan tersebut meluluhlantakkan hatiku? Meruntuhkan mimpi-mimpi yang selama ini aku bangun tentang dirimu? Menghancurkan sebuah mimpi tentang keseriusan yang aku susun rapi bersamamu? Tidakkah kamu sadar?
            Nyatanya, kedekatan satu setengah tahun kita hanya sebuah hubungan semu. Sikap-sikap manis dan sikap peduli yang kamu berikan padaku, hanya sebuah awal untuk kehancuran terbesarku. Nyatanya, cintamu hanya ungkapan semu yang membunuhku secara perlahan. Adakah yang harus disalahkan dari luka-luka yang kini harus kutanggung seorang diri? Tidak ada!
Kita hanya terjebak dalam sebuah rasa yang belum sempat kita beri nama. Kita hanya dua orang asing yang sudah dengan berani menganggap getar di dada sebagai cinta. Meski nyatanya, luka yang harus kita terima. Mungkin bukan kita. Mungkin hanya aku yang terluka. Akulah yang terlalu dalam mengikutkan perasaan dalam hubungan kita. Akulah yang terlalu berharap jika keseriusanku akan mendapatkan balasan yang sama.
Awalnya kita hanya dua orang asing yang bertemu tanpa sengaja, dan akan kembali menjadi dua orang asing. Aku akan baik-baik saja tanpamu, meski luka masih basah menganga lebar. Dan, kamu akan baik-baik saja tanpa aku. Selamat menempuh jalanmu sendiri. Kita bukan lagi dua orang yang akan berjalan beriringan. Pelan-pelan saja, aku pasti melupakan. Biarlah kisah kita akan tersimpan sebagai kenang.
Untuk terakhir kalinya aku mengatakan, aku mencintaimu. Meski waktu yang kita habiskan bersama tidak akan sama lagi. Aku akan pergi dengan perlahan, menghapuskan cahayaku yang selama ini kupersembahkan padamu. Aku akan pergi sebagai sebuah meteor, berkelana mencari peraduanku sendiri. 

Comments

  1. Nostalgiaaa .. Eka bawa aku ke masa lalu .. Xixixiixii

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nanti bikin nggak bisa move on kalau dibawa ke masa lalu lagi :'D

      Delete

Post a Comment