Namun, dia mengingkari ucapannya sendiri. Kini, dia
membiarkanku terjatuh dari tingginya harapan yang aku bangun sendiri. Ribuan
bahkan jutaan harapan yang aku bangun atas dukungan darinya, dulu.
Entahlah, apa yang ada dipikiranmu?
Nyatanya, kita tidak pernah baik-baik saja. Tidak, mungkin
bukan kita. Hanya aku. Ya, hanya aku. Aku yang memilih bersembunyi. Bersembunyi
pada tawa bahagia dan senyum berseri meski itu sekadar ilusi. Sedangkan kau,
kau bersikap seolah tidak ada sesuatu yang pernah terjadi antara kita.
Menganggap bahwa hatiku masih baik-baik saja setelah kau porak-porandakan tempo hari.
Jika ada hal yang harus ku sesalkan adalah perasaan yang
tumbuh untukmulah tokoh utamanya.
Tidak ada yang baik-baik saja, ketika luka, kecewa, sesal,
dan perih bersatu seakan berkolaborasi mencipta sesak di dada.
Kau bisa berkata bahwa kita baik-baik saja. Tapi ingatlah,
luka tak pernah diam saja. Ada lara yang menjerit tanpa pernah terkata.
Sudahlah, setidaknya kita baik-baik saja dalam ikatan
bernama teman. Walau aku harus tertatih mengalihkan perih yang terus
menggerogoti. Aku penat, ketika luka terus mengejar tanpa kenal kata tamat.
Mencipta pekat di dada, seperti berjelaga.
Inilah setitik luka yang sanggup ku sampaikan. Haruskah aku
mengatakan dengan gamblang bahwa kau adalah pelaku utama dari setumpuk lara
yang bertumbukan dalam dada?
Bukankah aku pernah mengatakannya padamu, tuan? Hati-hati
menyentuh hati seorang penulis. Ketika kau melukainya, namamu akan terukir abadi
pada sajak-sajak pilu yang menghunusmu tajam bagai sembilu.
Comments
Post a Comment