Meja makan hampir selalu memiliki cerita. Tentang kehangatan, canda, tawa, serta tempat berbagi kisah dengan keluarga. Di tempat itu pula, banyak kenangan yang tercipta. Ya, kenangan. Sebuah kejadian yang pada nanti hanya akan hidup dalam ingatan.
Semalam, aku, adik, ibu, dan bapak berkumpul di meja makan. Makanan sederhana sudah terhidang di atas meja, ada tempe goreng dan sambal. Memang terlihat sederhana, namun kebersamaanlah yang membuat semuanya menjadi lebih menyenangkan.
Hingga beberapa menit kemudian bapak berbicara, "Ketika nanti kalian sudah memiliki hidup masing-masing, sudah berumah tangga. Kita tidak bisa seperti ini lagi. Ini hanya akan menjadi sebuah kenangan, karena untuk berkumpul bersama akan menjadi sesatu yang sulit dilakukan."
Sesuatu terasa menghantam dadaku. Benar. Pada saatnya nanti, semua ini hanya akan tersisa sebagai kenang. Kehangatan, kebersamaan, gelak tawa, senda gurau, dan saat-saat berbagi cerita hanya akan menjadi sesuatu yang begitu kurindukan. Entah kapan, tapi aku tahu itu pasti.
Ah, bisakah kita kembali pada dua belas atau sepuluh tahun yang lalu? Ketika gadget belum menjadi bagian dari hidup kita. Saat masih ada ponsel jadul yang hanya bisa digunakan untuk mengirim sms, telepon, maupun berselancar dunia maya menggunakan internet browser. Ketika gadget belum mengambil alih kehangatan di tengah kita. Bisakah?
Jujur saja, aku merindukan saat-saat itu. Merindukan saat dimana kerutan di wajah ibu dan bapakku tidak sebanyak sekarang, merindukan saat dimana uban di kepala mereka belum mendominasi seperti saat ini, merindukan saat dimana adikku masih menjadi seorang anak laki-laki berusia lima tahun. Dan, aku merindukan saat dimana aku belum menjadi perempuan (menuju) dewasa yang memikul tanggung jawab besar.
Terkadang aku berpikir, bagaimana jika nanti aku meninggalkan mereka untuk menempuh kehidupan yang baru? Bagaimana jika nanti aku tidak bisa lagi merasakan betapa bahagianya menonton televisi bersama? Bagaimana jika di masa depan aku mengecewakan mereka? Bagamana jika di waktu nanti aku terlalu sibuk, hingga tidak sempat memerhatikan mereka? Jujur saja, untuk pertanyaan terakhir, aku tidak ingin menjadi seperti itu. Namun, bagaimana jika mereka harus pergi terlebih dahulu sebelum aku sempat membahagiakan mereka?
Ah, bolehkah aku menangis sekarang? Menangis untuk segala hal yang telah terlewati. Untuk semua kesibukan yang kulakukan, hingga aku sering kali lupa bahwa mereka juga membutuhkan perhatian dariku.
Cerita di meja makan. Aku akan merekamnya dalam-dalam di ingatan. Dan untuk seseorang yang akan menemaniku di masa depan, bolehkah aku selalu mengunjungi mereka satu minggu sekali? Atau paling tidak dua sampai tiga kali dalam satu bulan?
Jika sudah seperti ini, rasanya aku benar-benar tidak ingin kembali ke tanah perantauan.
Comments
Post a Comment