Sebuah Analogi

(Pict: https://renessans.md/wp-content/uploads/2017/05/1-2.jpeg)


Barangkali hatiku adalah rumah, dan aku si tuan rumah. 
Pintuku terbuka lebar untuk siapapun,
datanglah jika kau bersedia.
Tak perlu membawa bingkisan, 
akulah yang menyiapkan jamuan.
Silakan bercerita apapun, atau sekadar berbagi canda.
Tak akan kubagi kisahmu pada siapapun
Biarlah menjadi rahasia kita.
Jika tak lagi betah, kau boleh pergi sesuka hati.
Bukankah pintu itu sudah terbuka untukmu sejak tadi?
Aku akan melepasmu dengan senyum semringah, 
atau justru raut wajah penuh geram dan luka.
Bergantung dari sikap yang kau tunjukkan.
Aku akan menunggumu kembali, jika perlu. 
Tiga hari atau mungkin seminggu lagi. 
Jika kau tak kembali,
kupikir urusan kita memang sudah usai. 
Dan pintu itu, barangkali tak akan terbuka lagi untukmu.
Jika kau memutuskan datang lagi,
kita bisa berbagi kisah untuk kesekian kali.
Namun barangkali, peranku tetaplah sebagai pendengar. 
Kau tahu, 
aku tidak akan menunjukkan rahasia di rumahku pada sembarang orang.
Bisa saja, kau pergi setelah mendengarnya,
atau bahkan memporak-porandakan seisi rumahku.
Aku bisa berbagi cerita padamu,
memberi kunci rumah padamu, 
serta menunjukkan rahasia rumahku padamu. 
Tentu saja jika kau juga memberikan kunci rumahmu padaku,
atau paling tidak, tunjukkan jika kau pantas dipercaya. 
Aku sudah terlalu muak dengan para serigala berbulu domba,
pada mereka yang datang hanya dengan tipu muslihat,
pada mereka yang hadir dengan seribu satu macam topeng.
Tetapi, sekali kau menghancurkan percayaku,
kau tak akan pernah menemukan diriku yang dulu lagi. 
Dan pintu itu, selamanya akan tertutup untukmu. 
Silakan mencari tempat singgah lain. 

Comments