Muara Rasa



Kita pernah berjalan dengan langkah yang sama. Bercerita tentang mimpi yang terkadang tidak ternalar oleh logika. Mengarungi waktu yang merangkai larik-larik cerita. Namun aku melupakan satu hal, rasa yang sama tidak selamanya membuat kita menang melawan luka. Bosan selalu berhasil menjadi ranjau, bahkan untuk sepasang genggaman yang telah terjalin selama nyaris tiga tahun.

Aku tidak tahu, sehebat apa dia yang kamu pilih. Hingga kamu melepasku yang selalu bersedia menunggu setiap kali kamu meminta waktu untuk sendiri. Tidak sedikitpun aku mengeluh, ketika tak ada kabar darimu selama beberapa waktu. Hanya sebaris kalimat yang kukirimkan setiap kali kamu meminta jeda dari hubungan ini, 'Semoga kita tetap bisa menjadi utuh'. Pada akhirnya aku tahu, jeda yang kau minta adalah perihal palsu. Kamu menghilang untuk menyusun kesempatan menyelesaikan kita dan meninggalkanku.

Di sana, di sudut jalan sepi aku melihatmu bersamanya. Di sebuah persimpangan yang membuatku porak-poranda, kamu melambaikan tangan dengan teramat tega. Kamu tahu, detik itu juga, aku benar-benar ingin menghampirinya--seseorang yang telah membuatmu melepaskan genggaman tanganku. Aku ingin mengatakan padanya, jika akulah seseorang yang selama ini menopangmu untuk terus bangkit, ketika kehidupan bertindak kejam. Aku ingin mengatakan, jika selama ini akulah yang selalu bersabar di setiap amarahmu. Bukan dia. Bukan dia yang bahkan baru saja hadir, tanpa pernah tahu sehebat aku memperjuangkanmu selama ini. Sayang, tidak berartikah segala hal tentang kita yang selama ini aku jaga? Hingga kau memilih dia, yang mungkin tidak lebih tabah daripada aku. 

Tidak ada yang mampu kulakukan untuk menahanmu. Melihatmu menautkan jemari di antara miliknya, membuat sudut-sudut hatiku teramat kacau. Aku terpukul, ketika akhirnya kamu berlalu membawa serta kepingan hatiku. Teramat dalam aku mempercayakan perasaan ini padamu. Tidak sedikitpun terlintas bahwa luka yang menjadi ujung dari cerita ini. 

Aku mencoba memintamu kembali setelah hari itu. Menyingkirkan segenap kecewa yang teramat dalam kau goreskan dalam dadaku. Aku tidak tahu, mengapa setelah hari itu aku tetap tidak mampu membunuh sosokmu dalam kepalaku. Kamu masih seseorang yang berhasil mencuri fokusku, merampas nyaris seluruh kewarasanku, hingga terlalu sulit bagiku untuk melepaskan. Namun, kamu membunuhku dengan pengabaianmu. Kamu menghancurkanku sekali lagi dengan ketidakpedulianmu. 

Aku menyusuri jejalanan panjang. Membunuh setiap bayangmu di sela jejak langkahku. Bukankah tidak ada lagi yang bisa kuharapkan? Aku hanya menghancurkan diri sendiri ketika memintamu untuk sekali lagi kembali. 

Jika pada akhirnya perasaan ini bermuara pada satu kata bernama luka, maka jangan sekalipun kamu memintaku kembali untuk memintal rasa yang telah kutinggal mati. Sudah habis tabahku untukmu. Kamu membuangnya demi bersama seseorang yang baru. Mungkin tidak akan mudah bagiku untuk melupakan segala hal tentang kita. Namun aku tahu, waktu selalu memiliki cara untuk menghapus lara.

Terima kasih telah bersedia bersama, meski ternyata dirinyalah yang kau pilih untuk menyembuhkan resah. Terima kasih telah bersedia bersama, meski sekarang dialah yang kamu percayakan untuk menampung gundah. Terima kasih telah bersedia bersama. Aku pasti akan menemukan bahagia lain, meski itu bukan tentang kita.

Pict by https://data.whicdn.com/images/238911152/large.jpg

Comments